Sabtu, 08 Desember 2012

Knalpot Mercedez Benz Ternyata Dibuat oleh Anak Bangsa


Tahukah Kamu Jika Knalpot Mercedes Benz Dibuat Oleh Anak Bangsa?

Pengalaman bisa mengantarkan seseorang pada kesuksesan. Buktinya, dengan semangat tidak pernah berhenti mencoba, Agus Adi Atmaja sukses menjadi pengusaha knalpot di Purbalingga. Salah satu pelanggannya adalah Mercedes Benz. Seperti kata pepatah, pengalaman adalah guru terbaik. Pepatah inilah yang mengilhami Agus Adi Atmaja hingga sukses menjadi pengusaha knalpot mobil ternama. Buktinya, knalpot buatan Agus dipakai produsen mobil sekelas Mercedes Benz. Ini semua berkat seabrek pengalaman yang dijalaninya sejak muda.

Photo: Tahukah Kamu Jika Knalpot Mercedes Benz Dibuat Oleh Anak Bangsa?

Pengalaman bisa mengantarkan seseorang pada kesuksesan. Buktinya, dengan semangat tidak pernah berhenti mencoba, Agus Adi Atmaja sukses menjadi pengusaha knalpot di Purbalingga. Salah satu pelanggannya adalah Mercedes Benz. Seperti kata pepatah, pengalaman adalah guru terbaik. Pepatah inilah yang mengilhami Agus Adi Atmaja hingga sukses menjadi pengusaha knalpot mobil ternama. Buktinya, knalpot buatan Agus dipakai produsen mobil sekelas Mercedes Benz. Ini semua berkat seabrek pengalaman yang dijalaninya sejak muda.

“Dari dulu saya memang senang mencoba apa saja,” ujar lelaki kelahiran Purbalingga, 41 tahun lalu ini. Waktu muda, bukannya rajin menjalani kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), lelaki lulusan sekolah menengah kejuruan jurusan teknik ini malah lebih senang melakukan kegiatan di luar kampus. “Saya merasa bosan. Gara-gara jarang kuliah, enam bulan langsung drop out (DO),” kenang Agus. Setelah di-DO pada 1988, jiwa petualangan Agus mengantarkannya ke Yogyakarta.

Di Kota Gudeg itu, Agus berniat kuliah di Jurusan Seni Kriya Institut Seni Yogyakarta (ISI). Namun, Agus ditolak karena alasan dasar pendidikannya adalah ilmu teknik di SMK. Usai ditolak ISI, Agus malah nongkrong di Jogja dan tidak pulang ke Purbalingga. “Saya sempat jualan suvenir di Malioboro,” kenang Agus. Hanya tahan selama enam bulan di Jogja, Agus lantas berkelana ke Semarang. Di sini, Agus menjajal segala macam kegiatan yang bisa menghasilkan uang. “Setelah puas mengumpulkan pengalaman, saya kembali ke Purbalingga pada tahun 1992,” kata Agus seperti dikutip dari Tabloid Kontan.

Sempat menganggur selama empat tahun, Agus mendapat ide mendirikan bengkel knalpot. “Saat itu, saya lihat bisnis knalpot di Purbalingga mulai tumbuh dan menjanjikan,” ujar bapak dua anak ini. Dengan modal duit Rp 35 juta dari tabungan miliknya, Agus membeli empat mesin pres logam manual, bahan baku pelat galvanis, dan membuat cetakan. Dengan mempekerjakan tiga orang pegawai, Agus mulai membuat knalpot.

“Waktu itu, saya baru membantu mengerjakan pesanan teman,” tutur lelaki yang hobi memancing ini. Ternyata, knalpot dan variasi knalpot buatannya lumayan bagus dan disukai konsumen. Saban bulan, Agus menghasilkan 100 unit knalpot dan variasi dengan harga berkisar antara Rp 20.000 sampai Rp 100.000 per unit.

Usaha knalpot Agus semakin dikenal luas dari mulut ke mulut. Konsumen yang memesan langsung ke bengkelnya pun semakin banyak. Agar mudah dikenal, Agus pun memberi nama bengkel knalpotnya Van Volker Enterprise. Tak disangka, usaha Agus yang dulunya kecil-kecilan semakin besar. Produksi knalpot dan variasi Van Volker pun terus meningkat hingga mencapai 600 unit sebulan. Krisis moneter yang menghantam Indonesia tahun 1998-1999 tidak menyurutkan bisnis knalpot Agus.

Sekian lama membuat knalpot dan variasi dari galvanis, Agus lalu beralih ke bahan baku stainless steel. Karena pembuatan knalpot stainless steel lebih sulit dan lama, produksi Van Volker pun berkurang, jadi hanya 100 unit sebulan. Namun, dengan harga jual knalpot baja tahan karat yang lebih mahal, omzet usaha Agus cenderung menanjak. “Karena, tren permintaan knalpot stainless steel lebih menjanjikan,” ujar Agus.

Selain mobil-mobil pabrikan Jepang, knalpot dan variasi stainless steel itu umumnya dipakai mobil-mobil Eropa berkelas semisal Mercedes Benz dan BMW. “Jadi, kami menyasar pangsa pasar menengah ke atas,” tukas Agus. Berbagi pesanan Ternyata, keputusan Agus beralih ke knalpot stainless steel tak salah. Pasalnya, pada tahun 2007, Agus kedatangan tamu dari Jerman yang mendengar soal knalpot buatan Agus. Perwakilan dari Mercedes Benz Jerman itu ternyata memesan knalpot Van Volker sebanyak 1.000 unit.

Jadilah Agus meneken kontrak pembuatan 1.000 unit knalpot Mercedes Benz dengan harga Rp 2 juta per unit (satu unit terdiri dari dua bagian). “Jadi, knalpot buatan saya dipakai di mobil Mercedes yang beredar di luar negeri. Tidak di Indonesia,” tandas Agus. Selain mengerjakan pesanan Mercedes, Agus tetap menyasar pasar dalam negeri. Saban bulan, dengan bantuan 9 pegawai, Agus menjual 700 unit knalpot ke kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Hingga, ke Kalimantan dan Sumatra.

Agus membanderol knalpot dan variasi untuk pangsa pasar lokal itu antara Rp 25.000 hingga Rp 250.000 per unit. Omzet yang ia kantongi saban bulan sekitar Rp 120 juta dengan margin keuntungan 10%–30%. Namun, Agus tidak mau kemaruk. Ia tidak ingin sendirian menikmati pesanan knalpot dari pabrikan besar. “Saya juga mengorder sebagian pesanan ke teman-teman,” katanya. Misalnya saja, baru-baru ini PT Astra Honda Motor (AHM) datang ke Purbalingga dan berencana memesan knalpot. Karena harus memenuhi pelanggan tetap, Agus malah merekomendasikan pengusaha lain untuk produsen motor itu.

ilustrasi gambar : okezone otomotive
sumber tulisan : Ciputraworld.com

“Dari dulu saya memang senang mencoba apa saja,” ujar lelaki kelahiran Purbalingga, 41 tahun lalu ini. Waktu muda, bukannya rajin menjalani kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), lelaki lulusan sekolah menengah kejuruan jurusan teknik ini malah lebih senang melakukan kegiatan di luar kampus. “Saya merasa bosan. Gara-gara jarang kuliah, enam bulan langsung drop out (DO),” kenang Agus. Setelah di-DO pada 1988, jiwa petualangan Agus mengantarkannya ke Yogyakarta.

Di Kota Gudeg itu, Agus berniat kuliah di Jurusan Seni Kriya Institut Seni Yogyakarta (ISI). Namun, Agus ditolak karena alasan dasar pendidikannya adalah ilmu teknik di SMK. Usai ditolak ISI, Agus malah nongkrong di Jogja dan tidak pulang ke Purbalingga. “Saya sempat jualan suvenir di Malioboro,” kenang Agus. Hanya tahan selama enam bulan di Jogja, Agus lantas berkelana ke Semarang. Di sini, Agus menjajal segala macam kegiatan yang bisa menghasilkan uang. “Setelah puas mengumpulkan pengalaman, saya kembali ke Purbalingga pada tahun 1992,” kata Agus seperti dikutip dari Tabloid Kontan.

Sempat menganggur selama empat tahun, Agus mendapat ide mendirikan bengkel knalpot. “Saat itu, saya lihat bisnis knalpot di Purbalingga mulai tumbuh dan menjanjikan,” ujar bapak dua anak ini. Dengan modal duit Rp 35 juta dari tabungan miliknya, Agus membeli empat mesin pres logam manual, bahan baku pelat galvanis, dan membuat cetakan. Dengan mempekerjakan tiga orang pegawai, Agus mulai membuat knalpot.

“Waktu itu, saya baru membantu mengerjakan pesanan teman,” tutur lelaki yang hobi memancing ini. Ternyata, knalpot dan variasi knalpot buatannya lumayan bagus dan disukai konsumen. Saban bulan, Agus menghasilkan 100 unit knalpot dan variasi dengan harga berkisar antara Rp 20.000 sampai Rp 100.000 per unit.

Usaha knalpot Agus semakin dikenal luas dari mulut ke mulut. Konsumen yang memesan langsung ke bengkelnya pun semakin banyak. Agar mudah dikenal, Agus pun memberi nama bengkel knalpotnya Van Volker Enterprise. Tak disangka, usaha Agus yang dulunya kecil-kecilan semakin besar. Produksi knalpot dan variasi Van Volker pun terus meningkat hingga mencapai 600 unit sebulan. Krisis moneter yang menghantam Indonesia tahun 1998-1999 tidak menyurutkan bisnis knalpot Agus.

Sekian lama membuat knalpot dan variasi dari galvanis, Agus lalu beralih ke bahan baku stainless steel. Karena pembuatan knalpot stainless steel lebih sulit dan lama, produksi Van Volker pun berkurang, jadi hanya 100 unit sebulan. Namun, dengan harga jual knalpot baja tahan karat yang lebih mahal, omzet usaha Agus cenderung menanjak. “Karena, tren permintaan knalpot stainless steel lebih menjanjikan,” ujar Agus.

Selain mobil-mobil pabrikan Jepang, knalpot dan variasi stainless steel itu umumnya dipakai mobil-mobil Eropa berkelas semisal Mercedes Benz dan BMW. “Jadi, kami menyasar pangsa pasar menengah ke atas,” tukas Agus. Berbagi pesanan Ternyata, keputusan Agus beralih ke knalpot stainless steel tak salah. Pasalnya, pada tahun 2007, Agus kedatangan tamu dari Jerman yang mendengar soal knalpot buatan Agus. Perwakilan dari Mercedes Benz Jerman itu ternyata memesan knalpot Van Volker sebanyak 1.000 unit.

Jadilah Agus meneken kontrak pembuatan 1.000 unit knalpot Mercedes Benz dengan harga Rp 2 juta per unit (satu unit terdiri dari dua bagian). “Jadi, knalpot buatan saya dipakai di mobil Mercedes yang beredar di luar negeri. Tidak di Indonesia,” tandas Agus. Selain mengerjakan pesanan Mercedes, Agus tetap menyasar pasar dalam negeri. Saban bulan, dengan bantuan 9 pegawai, Agus menjual 700 unit knalpot ke kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Hingga, ke Kalimantan dan Sumatra.

Agus membanderol knalpot dan variasi untuk pangsa pasar lokal itu antara Rp 25.000 hingga Rp 250.000 per unit. Omzet yang ia kantongi saban bulan sekitar Rp 120 juta dengan margin keuntungan 10%–30%. Namun, Agus tidak mau kemaruk. Ia tidak ingin sendirian menikmati pesanan knalpot dari pabrikan besar. “Saya juga mengorder sebagian pesanan ke teman-teman,” katanya. Misalnya saja, baru-baru ini PT Astra Honda Motor (AHM) datang ke Purbalingga dan berencana memesan knalpot. Karena harus memenuhi pelanggan tetap, Agus malah merekomendasikan pengusaha lain untuk produsen motor itu.

0 comments:

Posting Komentar