Sabtu, 24 November 2012

Gulat Sumo ala Rembang




TAHUKAH KAMU GULAT "SUMO" ALA REMBANG?

Seni budaya dan olahraga gulat tradisional "Pathol Sarang" (PS), Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, selama puluhan tahu dilema. Terkenal tidak, tidak terkenal juga tidak. Berulangkali Pemkab Rembang lewat dinas terkait termasuk Dinas Pendidikan, berupaya memasyarakatkannya. Bahkan berusaha menjadikannya ikon daerah tersebut. Namun hasilnya seperti (selalu) belum memuaskan.

PS tak hanya populer dimasyarakat khususnya kaum nelayan di Kec.Sarang dan Kec.Kragan. Para nelayan sepanjang Pantai Utara Kab.Rembang dari ujung Barat ; Kaliori, Pacar Gegunung, Rembang-Kota, Lasem, Bonang, Pandangan sampai Kragan dan Sarang diujung Timur, sudah sangat mengenalnya. Disebut "Pathol Sarang", karena seni gulat tradisional ini berkembang awalnya dari (kaum nelayan) Kec.Sarang.

Pathol berasal dari katamathol/kepathol (tak bisa bergerak). Para nelayan setempat kerap minta tolong temannya, saat perahunya kepathol tak bisa bergerak (terkunci) karena kandas. Dari istilah itu (terkunci) tadi, dalam pertarungan PS dua pria berhadapan. Berusaha (saling) mengunci satu sama lain (lawannya). Sampai salah satu diantaranya benar-benar terkunci dan menyerah, atau dinyatakan kalah.

Reog-Sumo

Gulat tradisional PS, mirip "Sumo" di Jepang. Bedanya, dalam pathol orang tak bertubuh tambunpun boleh terjun di arena, melawan orang lain yang perawakannya sepadan (sesuai aturan kini). Pemain pathol harus telanjang dada. Dipinggang mnasing-masing dililitkan kain sarung atau tali "dadhung" tempat pegangan (grip) lawan. Tak ada matras, pertarungan dilakukan ditempat terbuka diatas hamparan pasir tepi laut.

Sepanjang pertarungan, gamelan ditabuh bertalu-talu (Jw; ngungkung). Persis irama "Reog Ponorogo". Jika gamelan berhenti, berarti pertarungan usai. Puluhan tahun silam, PS tak mengenal istilah "ronde" seperti sekarang. Pertarungan baru selesai, setelah salah satu petarung pathol menyerah, atau dinyatakan kalah oleh pengawas/wasit terdiri dua orang sambil berjoged.

Dulu tidak ada "kelas" dalam tarung pathol. Siapapun entah bertubuh kekar atau kerempeng, jika punya nyali berhak turun diarena pathol, menantang sang juara. Jadi jawara pathol saat itu bagaikan "Warok Ponorogo". Tenar dan disegani orang. Dimana-mana dihormati dan digandrungi banyak wanita. Tetapi tak jarang konotasinya jelek, karena dinilai lekat dengan dunia maksiat.

Saweran Juara

Nelayan Rembang, menggemari seni gulat tradisional ini. Berpuluh tahun silam, PS tak hanya diadakan pada upacara ritual tahunan, "Sedekah laut", seperti sekarang. Tetapi setiap terang bulan atau ketika para nelayan sedang jeda melaut, tarung pathol digelar ramai-ramai untuk menyemarakkan keadaan di desa-desa pantai itu. Malahan tak jarang para penonton "totohan", satu sama yang lain bertaruh.

Pemenang taruhan lazimnya memberi separoh kemenangannya pada juara pathol. Semacam "saweran", tanda simpati atau terima kasih. Kebiasaan saweran itu berlanjut sampai sekarang. Bukan hanya diberikan pada pemenang. Yang kalahpun dikasih hanya jumlahnya lebih kecil. Misalnya, si pemenang dapat saweran Rp 50.000, sedangkan yang kalah memperoleh Rp 25.000.

Bagaimana asal-muasal pathol ? Jawabnya simpang siur atau masih misteri. Konon bermula saat keraton Majapahit mencari prajurit tangguh dari pedesaan sepanjang pesisir. Untuk menyeleksinya diadakan patholan. Pemenangnya menjadi "Tamtomo Keraton" (prajurit kerajaan). Setelah zaman kerajaan surut, tradisi patholan masih dilanjutkan kaum nelayan psisir Sarang, hingga kini disebut "Pathol Sarang".

Setengah Langkah

Pemkab Rembang berusaha mengenalkan PS secara luas. Tak sebatas hanya dimasyarakat Jawa Tengah, diupayakan sampai tingkat nasional bila perlu sampai dunia internasional. Tetapi upaya itu seperti belum mancapai harapan yang diinginkan. Ditempat asalnya Kec.Sarang/Kragan, suatu saat diwaktu lalu, pathol pernah hampir-hampir tak dikenal oleh masyarakat setempat.

Beruntung beberapa tokoh mantan jawara PS dimasa silam kini masih ada yang tersisa, diantaranya seperti Haji Masrukhin, 82 tahun. Lelaki uzur tinggal di Sarang ini, tak henti-hentinya memasyarakatkan pathol khususnya pada generasi muda. Atas inisiatifnya pula, dilakukan perubahan terkait peraturan-peraturan dalam bergulat gaya PS. Misalnya, pertarungan tidak berlangsung non-stop, tapi lewat ronde per ronde.

0 comments:

Posting Komentar